Diversity
Ruang ini juga tidak terlalu berambisi kearah suatu faham yang sangat populer saat ini yang disebut dengan faham "pluralism" yaitu suatu isme tersendiri (lihat www.pluralism.org) yang memberikan pre-emptive-action kepada isme tersebut untuk berkembang biak sebagai suatu agama baru.
Sebagai gantinya ruang ini lebih mengacu kepada istilah "gado-gado" yang kerennya sering disebut "diversity". Sebagai Bhinneka Tunggal Ika kita sering mendengar kata-kata Unity in diversity, inipun harus bisa dikoreksi secara positip artinya pendekatan yang sebenarnya bukan hanya "unity in diversity" saja tapi juga harus bahkan lebih penting lagi memasukkan unsur "DIVERSITY in UNITY".
Banyak alasan untuk sebaiknya tidak menggunakan faham "pluralism / pluralisme" tersebut, akan lebih bijak jika kita hanya menggunakan istilah "diversity" saja, bahkan sejak lama arti BHINNEKA TUNGGAL IKA lebih cocok kepada pengertian "unity in diversity" dan ataupun "diversity in unity" saja.
Sekedar untuk menangkap argumentasi masing-masing pendapat yang berbeda tersebut, pada halaman dibawah ini dikutip 2 (dua) tulisan masing-masing tulisan yang menjelaskan argumentasinya tentang faham pluralisme tersebut.
Sebagai gantinya ruang ini lebih mengacu kepada istilah "gado-gado" yang kerennya sering disebut "diversity". Sebagai Bhinneka Tunggal Ika kita sering mendengar kata-kata Unity in diversity, inipun harus bisa dikoreksi secara positip artinya pendekatan yang sebenarnya bukan hanya "unity in diversity" saja tapi juga harus bahkan lebih penting lagi memasukkan unsur "DIVERSITY in UNITY".
Banyak alasan untuk sebaiknya tidak menggunakan faham "pluralism / pluralisme" tersebut, akan lebih bijak jika kita hanya menggunakan istilah "diversity" saja, bahkan sejak lama arti BHINNEKA TUNGGAL IKA lebih cocok kepada pengertian "unity in diversity" dan ataupun "diversity in unity" saja.
Sekedar untuk menangkap argumentasi masing-masing pendapat yang berbeda tersebut, pada halaman dibawah ini dikutip 2 (dua) tulisan masing-masing tulisan yang menjelaskan argumentasinya tentang faham pluralisme tersebut.
Dari Keberagaman ke Pluralisme
July 21, 2011 by Mangku Suro
Filed under: 1. Apresiasi
Oleh : Diana L. Eck
Seluruh keberagaman Amerika, lama dan baru tidak menambahkan kepada pluralisme. “Pluralisme” (pluralism) dan “keberagaman” (diversity) kadang-kadang dipergunakan seolah-olah mereka sinonim, tetapi keberagaman hanya sekedar pluralitas, jelas dan sederhana – bagus sekali, warna-warni, barangkali juga mengancam. Pluralisme adalah keterlibatan yang menciptakan satu masyarakat bersama dari semua pluralitas itu. Di jalan Silver Spring yang sama, di Maryland, gereja Katolik Vietnam, Vihara Buddha Kampuchea, gereja Orthodoks Ukraina, Pusat Masyarakat Muslim, dan Mangal Mandir Hindu, semuanya berlokasi di lingkungan yang sama. Ini tentu saja keberagaman tanpa keterlibatan atau hubungan satu dengan yang lain dan karena itu ia bukanlah contoh bagi pluralisme.
Pluralisme hanyalah satu dari kemungkinan jawaban kepada keberagaman. Beberapa orang mungkin merasa terancam oleh keberagaman, atau bahkan memusuhinya. Sepanjang sejarah Amerika telah ada kelompok-kelompok yang menyatakan prasangka dan intoleransi kepada pendatang baru dari agama-agama dan budaya-budaya lain. Orang lain mungkin mengharapkan suatu hari semua perbedaan-perbedaan ini akan hilang ke dalam satu pemandangan dari satu budaya yang didominasi oleh budaya Kristen. Jelaslah pluralisme yang akan melibatkan orang-orang dari keyakinan dan budaya berbeda di dalam penciptaan satu masyarakat bersama bukanlah satu hal yang “terberi”, tetapi satu pencapaian.
Dari perspektif sejarah, istilah “pengeluaran” (exclusion), “penerimaan” (assimilation), dan “pluralisme” mengisyaratkan tiga jalan berbeda di mana orang-orang Amerika telah mendekati keberagaman budaya dan agama yang semakin meluas. Bagi kaum eksklusionis, jawaban kepada gelombang keberagaman budaya dan agama yang riuh rendah yang tampaknya mengancam pusat dari peradaban Amerika adalah menutup pintu, khususnya terhadap masuknya yang “asing”, apakah orang-orang Asia, Katolik, atau Yahudi. Bagi kaum asimilasionis, seperti mereka yang memandang Amerika sebagai “wajan pencampuran” (melting pot), menerima kaum imigran baru yang akan dating, tetapi tinggalkan perbedaan-perbedaan dan sifat-sifat kaku anda di belakang secepat mungkin. Datanglah dan menjadi seperti kami, datanglah dan sesuaikan diri anda kepada budaya yang didominasi oleh Anglo-Protestan. Bagi kaum pluralis, seperti Horace Kallen pada awal abad dua puluh, janji Amerika datanglah seperti adanya anda dengan semua perbedaan-perbedaan anda, bersumpah setia kepada tuntutan sipil bersama dari kewarga-negaraan Amerika. Datanglah dan jadilah diri anda sendiri, berkontribusi dalam cara anda yang berbeda kepada “orkestra” peradaban Amerika.
Dalam diskusi tentang keberagaman agama dan budaya Amerika, ada gaung dari suara-suara masa lalu ini. Keberagaman agama Amerika baru telah memproduksi kesalahan-kesalahan, retakan-retakan yang mengindikasikan patahan dan pemisahan yang dalam. Stereotype-stereotipe dan prasangka memiliki bentuk-bentuk lama dan baru sebagaimana dialami oleh imigran Hindu, Buddhis, atau masyarakat Muslim. Ada perjumpaan, kadang-kadang perjumpaan yang bermusuhan atas “penetapan wilayah” (zoning) dan “lalu lintas” (traffic) ketika masyarakat pemeluk agama baru masuk ke dalam lingkungan pemukiman. Mereka sering merupakan keprihatinan yang sah, tetapi mereka juga adalah cara-cara untuk mengekspresikan ketakutan dan ketidak-pastian terhadap pendatang baru itu di dalam masyarakat. Malangnya, telah terjadi insiden perusakan dan pembakaran terhadap pusat-pusat agama para pendatang baru.
Tetapi keberagaman agama Amerika juga telah menghasilkan satu periode baru membangun-jembatan, ketika masyarakat-masyarakat pemeluk agama yang berbeda membangun hubungan satu sama lain yang tidak pernah ada sebelumnya. Satu gereja dan satu mesjid membeli property bersama dan membangunnya bersebelahan di area San Fransisco. Dewan gereja dan sinagog secara berlahan memasukkan dewan masjid dan mandir membentuk satu dewan antar-agama (inter faith council). Dewasa ini, mereka mulai membangun satu infrastruktur baru antar-agama di kota-kota Amerika. Ada dialog-dialog antar-agama, koalisi-koalisi antar-agama untuk memerangi kelaparan dan tunawisma, dan perayaan thanksgiving antar-agama. Di dewan sekolah, ada perjumpaan yang nyata, sering panas, mengenai isu-isu tentang peranan yang pantas dari agama di sekolah negeri.
Dewasa ini, seperti dalam setiap jaman, orang-orang Amerika sedang mengambil satu makna baru “Kita, rakyat Amerika Serikat …” Apakah artinya mengatakan “kita” di dalam satu Amerika multi-agama? Bagaimana “kita” berhubungan satu dengan yang lain, ketika “kita” itu meliputi Buddhis Amerika, seperti astronout Buddhis kelahiran Hawai yang meninggal di pesawat Challenger, Muslim Amerika, seperti wali sebuah kota kecil di Texas, dan Sikh Amerika, seperti ilmuwan riset di Fairfax, Virginia.
Apakah pluralisme? Pluralitas tradisi-tradisi agama dan budaya telah memberi karakter setiap bagian dunia dewasa ini. Tapi apakah oluralisme? Inilah empat titik untuk memulai pikiran kita:
Pertama, pluralisme bukan hanya sekedar pluralitas atau keberagaman, tetapi keterlibatan energetic dengan keberagaman (energetic engagement with diversity). Kita dapat “merayakan keberagaman”, sebagai klise. Atau kita dapat menjadi kritikal atasnya atau diancam olehnya. Tetapi pluralisme yang nyata meminta partisipasi, keterlibatan. Keberagaman dapat dan sering diartikan isolasi dan penciptaan geto-geto (kampung-kampung di kota yang didiami oleh minoritas) agama dengan lalu lintas kecil di antara mereka. Dinamika dari pluralisme, adalah satu pertemuan, pertukaran, dan lalu lintas dua arah. Analogi Kallen tentang orkestra, bersuara bersama, mungkin satu pengandaian yang bagus. Tetapi sebagaimana Kallen sangat sadar, ia selalu bukanlah satu simphoni yang sudah selesai. Musik itu, mungkin lebih seperti jazz, tergantung dari mempunyai satu telinga yang selalu disesuaikan kepada jenius dari para pemain yang lain. Dengan kata lain, keberagaman agama, tidaklah sesuatu yang terberi; ia adalah satu pencapaian. Hanya sekedar keberagaman tanpa perjumpaan dan hubungan yang nyata akan menghasilkan ketegangan yang semakin meningkat dalam masyarakat-masyarakat kita.
Kedua, pluralisme bukan sekedar toleransi, tetapi pencarian aktif dari pengertian melintasi garis-garis perbedaan. Toleransi adalah satu keutamaan publik yang perlu, tetapi ia tidak meminta orang-orang Kristen dan Muslim, Hindu, Yahudi, dan kaum sekularis yang kukuh untuk mengetahui tentang satu sama lain. Ia tidak melakukan apapun untuk membuang kebodohan kita tentang satu sama lain, dan meninggalkan di tempatnya stereotype, setengah-kebenaran, ketakutan yang mendasari pola-pola lama dari perpecahan dan kekerasan. Toleransi tentu saja penting, tetapi ia mungkin satu dasar yang tipis bagi satu masyarakat dengan perbedaan dan kerumitan agama seperti Amerika. Di dunia di mana kita hidup dewasa ini, kebodohan kita akan yang lain akan semakin meminta biaya tinggi.
Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi satu perjumpaan komitmen (the encounter of commitments). Beberapa orang khawatir dengan bahasa pluralisme, menekankan bahwa ia secara efektif menghilangkan kepercayaan agamanya dengan mengakui bahwa orang lain mempercayai hal yang berbeda. Beberapa orang secara salah berpikir bahwa perspektif seorang pluralis mengandaikan bahwa tidak ada perbedaan sungguh-sungguh di antara berbagai tradisi agama dan nilai-nilai mereka. Sebaliknya, perjumpaan dari satu masyarakat pluralis adalah perjumpaan dari komitmen nyata dan perbedaan-perbedaan nyata. Paradigma baru dari pluralisme tidak meminta kita untuk meninggalkan identitas dan komitmen kita di belakang, karena pluralisme adalah perjumpaan dari komitmen. Ia berarti memegang teguh keberagaman kita yang paling dalam, bahkan perbedaan atau keberagaman agama kita, tidak di dalam isolasi, tetapi di dalam hubungan satu dengan yang lain.
Pluralisme mengandung orang-orang dari setiap keyakinan untuk menjadi tidak lain dari dirinya sendiri, dengan seluruh kekhususan mereka, namun terlibat di dalam menciptakan satu masyarakat sipil, melalui perjumpaan kritikal dan otokritikal satu sama lain. Pluralisme adalah satu proses penciptaan satu masyarakat dengan mengakui, dari pada menyembunyikan, perbedaan-perbedaan terdalam kita.
Keempat, pluralisme di Amerika secara jelas didasarkan atas aturan-aturan dasar bersama dari Amandemen Pertama Konstitusi: “tidak ada agama negara” dan “kebebasan praktik” agama. Perjumpaan penuh semangat dari satu masyarakat pluralistic tidak didasarkan atas pikiran untuk mencapai persetujuan atas masalah-masalah hati nurani dan keyakinan, tetapi mencapai satu konteks diskusi dan hubungan yang penuh semangat. E Pluribus Unum, “dari yang banyak, satu,” (mirip dengan “Bhinneka Tunggal Ika”, red) memimpikan satu rakyat, satu akal sehat dari satu warga negara “kita,” tetapi bukan satu agama, satu keyakinan, satu hati nurani. Unum tidak berarti uni-formitas. Pluralisme didasarkan atas dialog. Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan perjumpaan, memberi dan menerima, kritikisme dan otokritikisme. Dialog berarti baik berbicara dan mendengarkan, dan proses itu mengungkap baik pengertian bersama maupun perbedaan-perbedaan yang nyata. Dialog tidak berarti setiap orang di “meja” akan setuju dengan yang lain. Pluralisme meliputi komitmen untuk ada di meja – dengan komitmennya masing-masing. Barangkali hal yang paling berharga yang dimiliki bersama oleh orang-orang dari banyak keyakinan adalah komitmen mereka pada satu masyarakat yang didasarkan atas memberi dan menerima dari satu dialog warga pada satu meja bersama.
Di manakah ruang publik, “meja-meja” di mana orang-orang dari berbagai tradisi agama dan non agama bertemu di dalam masyarakat Amerika? Meja-meja itu tentunya di dalam lingkungan tetangga dan organisasi-organisasi kemasyarakatan, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dewan-dewan perwakilan dan pengadilan, dewan penentu wilayah dan komisi-komisi perencanaan, dewan-dewan antar agama dan koalisi-koalisi antar agama dan rumah sakit. Di setiap area kehidupan publik ini, orang-orang Amerika sekarang menghadapi pertanyaan-pertanyaan baru, dan ketegangan-ketegangan baru di dalam mengambil satu rasa yang lebih rumit tentang siapa “kita” sekarang ini.
Diana L. Eck adalah professor Perbandingan Agama dan Studi Agama-agama India di Universitas Harvard. Di universitas itu, ia juga menjabat sebagai anggota pada Komisi Studi Agama dalam Fakultas Seni dan Ilmu Pengetahuan. Selain itu, ia juga menjadi professor di Fakultas Bahasa Sansekerta dan Studi India serta Fakultas Theology.
(MediaHindu, edisi 74, April 2010)
Di download pd 29 April 2012 dari sumber : http://canangsari.net/2011/07/dari-keberagaman-ke-pluralisme-2/
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Bedah Pluralisme di Bandung”
Senin, 17 Oktober 2005
Oleh: Adian Husaini
Pada 12 Oktober 2005, saya dengan Dr. Ugi Suharto, direktur eksekutif INSISTS, memberikan presentasi tentang Pluralisme Agama di empat lokasi di Bandung, yaitu di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Masjid Habiburrahman PT Dirgantara Indonesia, Masjid Ukhuwah, dan Masjid Salman Bandung. Ada beberapa masalah yang menarik untuk dicatat dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada acara itu.
Pertama, rata-rata kaum Muslim yang hadir dalam acara tersebut belum memahami dengan baik, apa sebenarnya ide Pluralisme Agama. Itu bisa disimak saat acara acara bedah buku Dr. Anis Malik Toha, yang berjudul Tren Pluralisme Agama, di UPI dan Masjid Salman Bandung. Karena itu, saat dipaparkan data-data dan teori tentang paham Pluralisme Agama, banyak yang mengaku sebagai hal baru bagi mereka.
Padahal, fatwa MUI sudah menjelaskan tentang definisi paham ini dengan lugas dan jelas. Yakni, menurut MUI, Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Paham seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam dan karenanya haram bagi kaum Muslimin untuk menganutnya.
Kedua, banyak hadirin yang terbengong-bengong menyimak profil para penganjur paham Pluralisme Agama. Banyak diantaranya yang lulusan perguruan-perguruan Tinggi Islam, bahkan ada doktor dan prosefor dalam bidang studi Islam.
Di kalangan insinyur, mahasiswa bidang teknologi, dan para profesional yang hadir, sempat muncul pertanyaan, apa yang salah dengan orang-orang yang belajar agama sejak kecil itu?
Mengapa kemudian mereka justru malah merusak keimanan mereka sendiri, dengan menyebarkan paham yang salah, dan malah menyebarkan pemahaman itu kepada masyarakat luas? Apa mereka tidak takut dosa?
Masalah ini sudah pernah kita bahas pada catatan-catatan sebelumnya. Bisa jadi, mereka memang salah berpikir, salah didik, atau “salah asuh”, sehingga merasa benar dalam kekeliruannya.
Mereka kemudian lebih percaya kepada para orientalis dari kalangan non-Muslim dalam memandang ajaran Islam, ketimbang para ulama Islam yang ‘alim dan shalih. Allah sudah mengingatkan adanya fenomena semacam ini, yakni adanya manusia-manusia yang merasa telah bebuat sebaik-baiknya, padahal amal perbuatan mereka sesat. (QS 18:103-104).
Atau, bisa jadi juga, kekeliruan itu disebabkan karena para penyebar paham yang salah ini telah tergoda oleh hawa nafsu, dan dengan sengaja melepaskan pemahamannya terhadap kebenaran. Godaan dunia menjadi sebab utamanya.
Kebetulan, paham Pluralisme Agama merupakan proyek yang sangat mudah menyedot dana dari lembaga-lembaga asing yang bergelimang uang. Para penyebar paham ini seperti tidak peduli dengan kerusakan berpikir dan kerusakan iman yang disebabkan oleh paham Pluralisme Agama. Allah SWT berfirman:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS 7:175-176)
Ketidakpahaman dan kerancuan tentang makna paham ini ditambah lagi dengan terbitnya tulisan-tulisan, buku-buku, dan ucapan di media elektronik dari banyak orang yang sengaja atau tidak justru mengaburkan makna paham ini sebenarnya.
Belum lama ini, misalnya, ada sebuah buku yang terbit yang membahas tentang Pluralisme. Judulnya sangat indah: “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam”. Penerbitnya adalah sebuah organisasi Islam dan Ford Foundation.
Di dalam buku ini kita bisa menyimak berbagai pemikiran pluralisme agama yang jelas-jelas bertentangan dengan keyakinan aqidah Islam. Misalnya paham relativisme iman. Seorang penulis dalam buku ini mengajukan tiga gagasan relativisme yang bisa dijadikan dasar penghormatan dan penghargaan atas yang lain. Pertama, relativisme kultural. Dalam konteks ini, katanya, Islam adalah agama yang hanya cocok dengan kebudayaannya sendiri. Maka, manifestasi Islam mestinya ditampilkan, dikemas dan dilakukan umatnya tanpa harus memaksa yang lain mengikutinya. (hal. 58).
Penulis ini sangat menekankan kentalnya budaya Arab pada ajaran Islam. Dari beberapa contoh ritual Islam, katanya, terlihat betapa kentalnya nuansa dan pengaruh kebudayaan Arab dalam ajaran Islam. “Hal ini mudah dimengerti, sebab wahyu Islam memang turun di Arab dan Pembawa Syariat juga seorang Arab. Dari sini bisa dikatakan bahwa Islam yang selama ini dipahami sebagai yang otentik atau orisinil tak lain adalah ekspresi lokalitas Arab tersendiri. Islam yang terbentuk di Semenanjung Arab adalah hasil dialektika dan pergulatan yang intensif antara Islam dan budaya lokal setempat.” (hal. 56).
Relativisme kedua yang diajukannya ialah relativisme epistemologis. Maksudnya, pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. (hal. 58).
Sedangkan relativisme ketiga ialah relativisme teleologis. Maksudnya, dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain… Artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental. (hal. 58-59)
Paham relativisme seperti ini tentu saja menjadi masalah dalam konsep keimanan Islam yang menuntut taraf keyakinan dalam iman. Azyumardi Azra, dalam buku ini, juga mengungkap tentang konsep “Islams” (banyak Islam). Kata dia, Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Kata Azra: “Memang secara teks Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” (hal. 150).
Azra menunjuk pada contoh perbedaan pemahaman di antara para imam mazhab dalam memahami Al-Quran dan hadits. Ia juga menegaskan bahwa Al-Quran sekalipun bisa disebut punya bias kultural. “Kenapa Al-Quran harus dengan berbahasa Arab, bukan berbahasa Indonesia, bahasa Jawa? Dan ketika Al-Quran itu di-frame, disampaikan kepada manusia, dalam hal ini orang Arab, maka ketika itulah kerangka cultural Arab juga masuk.” (hal. 150-151).
Rektor UIN Jakarta ini menekankan adanya faktor budaya, sosial, lingkungan, dan sebagainya, yang akan mempengaruhi cara berpikir seseorang, termasuk dalam cara memahami Al-Quran. “Karena itulah,” katanya, “ketika kita mencoba memahami Islam, maka memahami Al-Quran akan ada perbedaan pemahaman yang tidak bisa dielakkan.” (hal. 151)
Dengan pemahaman relativisme pemikiran seperti ini, maka seseorang dapat terjebak kepada pemikiran relatif, nisbi, dan tidak yakin kepada kebenaran. Jika begitu, maka tidak ada Islam yang satu. Yang ada adalah “Islams” atau “Islam-Islam”, Islam yang banyak. Semuanya tergantung pada lingkungan kultural dan cara berpikir. Kebenaran adalah relatif, menurut tiap orang. Konsekuensi cara berpikir semacam ini, maka tidak ada tafsir Al-Quran yang qath’iy; semuanya relatif. Semuanya nisbi. Dengan begitu, maka tidak ada Islam yang satu.
Benarkah cara berpikir relativisme semacam itu? Tentu saja tidak benar dan jelas-jelas salah. Cara berpikir relativisme ini muncul dari cara pandang yang salah, yang menyamakan antara Islam – sebagai agama wahyu—dengan agama-agama lain yang tumbuh dari kultur manusia.
Karena Islam adalah agama wahyu, maka tafsir dan pemahaman terhadap Islam dan al-Quran ada yang bersifat tetap (tsawabit) dan ada yang berubah (mutaghayyarat). Tafsir juga ada yang qath’iy dan ada yang zhanniy. Ada yang sama dan ada yang berbeda, tanpa pandang latar belakang kultural penafsir. Semua penafsir al-Quran akan sama dalam memahami dan menafsirkan ayat `Qul huwallaahu ahad`.
Bahwa, Allah adalah satu. Bukan tiga, atau tiga dalam satu. Semua mufassir akan memahami QS 2:183 sebagai dasar kewajiban menjalankan shaum Ramadhan. Bahwa, puasa Ramadhan adalah wajib. Semua mufassir – apa pun latar belakang kebangsaan dan budayanya – akan sama dalam memahami QS 60:10, bahwa seorang Muslimah memang haram menikah dengan laki-laki non-muslim. Para mufassir, baik dari Jawa maupun Rusia, akan sama dalam pemahamannya, bahwa ibadah haji harus dilakukan di Tanah Suci, bukan di Surabaya atau Moskwa.
Jadi, pemahaman bahwa Islam adalah banyak (Islams), adalah pemahaman yang keliru. Islam adalah satu. Syahadatnya satu, Al-Quran-nya satu, Nabi-nya satu, dan rukun iman dan rukun Islamnya satu. Di luar yang satu itu, tidak termasuk Islam. Jika ada orang yang mengaku Islam, tetapi tidak mengakui kewajiban shalat lima waktu atau menyatakan bahwa Al-Quran adalah karangan Nabi Muhammad saw, maka pendapatnya itu jelas-jelas pendapat kufur.
Karena itu, sepanjang sejarah Islam, masalah perbedaan kultural tidaklah dijadikan sebagai hal yang signifikan. Para mufassir dan ulama Islam dari berbagai belahan dunia memahami Al-Quran dengan cara yang sama untuk hal-hal yang pokok dalam Islam. Imam Bukhari bukanlah orang Arab, tetapi cara pemahamannya terhadap Islam sama dengan Imam Syafii yang Arab. Al-Quran sendiri menegaskan, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia, bukan untuk orang Arab saja.
Menyatakan bahwa Islam itu banyak, dengan contoh perbedaan fiqhiyyah di kalangan Imam Mazhab adalah contoh yang mengelirukan. Para Imam mazhab memang berbeda dalam hal furuiyyah, tetapi mereka tidak pernah berbeda tentang hal-hal yang pokok. Aqidah mereka sama.
Tidak ada yang meragukan otentisitas Al-Quran sebagai wahyu Allah. Tidak ada yang menyatakan bahwa haji bolah dikerjakan kapan saja. Tidak ada yang menyatakan, muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim.
Karena itu, seharusnya, para cendekiawan berpikir dan bersikap jujur dalam menyampaikan pemikirannya. Jangan memutar balikkan fakta dan menjerumuskan masyarakat dalam pemikiran yang salah.
Kita sekali lagi mengingatkan, agar para cendekiawan yang mengelirukan umat Islam sadar dan bertobat. Sebab, tanggung jawab mereka sangat besar, di dunia dan akhirat. Mereka bukan hanya salah untuk dirinya sendiri, tetapi juga akan menanggung dosa orang-orang yang mengikuti pendapatnya.
Dengan contoh-contoh pendapat relativisme Islam tersebut, kita dapat menyimak, bagaimana maraknya paham ini disebarkan oleh para pakar dan orang-orang yang seharusnya memahami agama dengan baik.
Siti Musdah Mulia, dalam buku yang sama, juga menyatakan, bahwa interpretasi manusia atas wahyu menjadi kebenaran yang tidak mutlak atau nisbi belaka, sejalan dengan keterbatasannya sebagai manusia. (hal. 233).
Di sini kita lagi-lagi melihat, paham relativisme kebenaran menjadi landasan penyebaran paham Pluralisme Agama. Di dalam Al-Quran surat 16 :125, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyeru manusia ke jalan Allah, dengan hikmah, mauidhatil hasanah, dan bermujadalah dengan cara yang lebih baik. Rasulullah saw juga banyak memerintahkan kepada kita agar melaksanakan amar makruf nahi munkar.
Sebelum menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka tentunya, syarat pertama adalah memahami mana jalan Allah, dan mana jalan setan; mana yang makruf dan mana yang munkar.
Jika Rasulullah saw dan para Wali Songo dulu menganut paham Pluralisme Agama, sudah tentu Islam tidak akan sampai ke Nusantara. Sebab, agama-agama yang sudah ada dianggap benar, dan tidak perlu menyebarkan Islam lagi. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Nabi Muhammad saw memberi contoh, bagaimana gigihnya beliau menyeru umat manusia agar beriman kepada Allah Yang Ahad, dan beriman kepada kenabian dan kerasulannya. Wallahu a’lam. (Balikpapan, 14 Oktober 2005).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini, merupakan kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Di download pd 29 April 2012 dari sumber : http://www.hidayatullah.com/read/2373/16/10/2005/%93bedah-pluralisme-di-bandung%94.html
July 21, 2011 by Mangku Suro
Filed under: 1. Apresiasi
Oleh : Diana L. Eck
Seluruh keberagaman Amerika, lama dan baru tidak menambahkan kepada pluralisme. “Pluralisme” (pluralism) dan “keberagaman” (diversity) kadang-kadang dipergunakan seolah-olah mereka sinonim, tetapi keberagaman hanya sekedar pluralitas, jelas dan sederhana – bagus sekali, warna-warni, barangkali juga mengancam. Pluralisme adalah keterlibatan yang menciptakan satu masyarakat bersama dari semua pluralitas itu. Di jalan Silver Spring yang sama, di Maryland, gereja Katolik Vietnam, Vihara Buddha Kampuchea, gereja Orthodoks Ukraina, Pusat Masyarakat Muslim, dan Mangal Mandir Hindu, semuanya berlokasi di lingkungan yang sama. Ini tentu saja keberagaman tanpa keterlibatan atau hubungan satu dengan yang lain dan karena itu ia bukanlah contoh bagi pluralisme.
Pluralisme hanyalah satu dari kemungkinan jawaban kepada keberagaman. Beberapa orang mungkin merasa terancam oleh keberagaman, atau bahkan memusuhinya. Sepanjang sejarah Amerika telah ada kelompok-kelompok yang menyatakan prasangka dan intoleransi kepada pendatang baru dari agama-agama dan budaya-budaya lain. Orang lain mungkin mengharapkan suatu hari semua perbedaan-perbedaan ini akan hilang ke dalam satu pemandangan dari satu budaya yang didominasi oleh budaya Kristen. Jelaslah pluralisme yang akan melibatkan orang-orang dari keyakinan dan budaya berbeda di dalam penciptaan satu masyarakat bersama bukanlah satu hal yang “terberi”, tetapi satu pencapaian.
Dari perspektif sejarah, istilah “pengeluaran” (exclusion), “penerimaan” (assimilation), dan “pluralisme” mengisyaratkan tiga jalan berbeda di mana orang-orang Amerika telah mendekati keberagaman budaya dan agama yang semakin meluas. Bagi kaum eksklusionis, jawaban kepada gelombang keberagaman budaya dan agama yang riuh rendah yang tampaknya mengancam pusat dari peradaban Amerika adalah menutup pintu, khususnya terhadap masuknya yang “asing”, apakah orang-orang Asia, Katolik, atau Yahudi. Bagi kaum asimilasionis, seperti mereka yang memandang Amerika sebagai “wajan pencampuran” (melting pot), menerima kaum imigran baru yang akan dating, tetapi tinggalkan perbedaan-perbedaan dan sifat-sifat kaku anda di belakang secepat mungkin. Datanglah dan menjadi seperti kami, datanglah dan sesuaikan diri anda kepada budaya yang didominasi oleh Anglo-Protestan. Bagi kaum pluralis, seperti Horace Kallen pada awal abad dua puluh, janji Amerika datanglah seperti adanya anda dengan semua perbedaan-perbedaan anda, bersumpah setia kepada tuntutan sipil bersama dari kewarga-negaraan Amerika. Datanglah dan jadilah diri anda sendiri, berkontribusi dalam cara anda yang berbeda kepada “orkestra” peradaban Amerika.
Dalam diskusi tentang keberagaman agama dan budaya Amerika, ada gaung dari suara-suara masa lalu ini. Keberagaman agama Amerika baru telah memproduksi kesalahan-kesalahan, retakan-retakan yang mengindikasikan patahan dan pemisahan yang dalam. Stereotype-stereotipe dan prasangka memiliki bentuk-bentuk lama dan baru sebagaimana dialami oleh imigran Hindu, Buddhis, atau masyarakat Muslim. Ada perjumpaan, kadang-kadang perjumpaan yang bermusuhan atas “penetapan wilayah” (zoning) dan “lalu lintas” (traffic) ketika masyarakat pemeluk agama baru masuk ke dalam lingkungan pemukiman. Mereka sering merupakan keprihatinan yang sah, tetapi mereka juga adalah cara-cara untuk mengekspresikan ketakutan dan ketidak-pastian terhadap pendatang baru itu di dalam masyarakat. Malangnya, telah terjadi insiden perusakan dan pembakaran terhadap pusat-pusat agama para pendatang baru.
Tetapi keberagaman agama Amerika juga telah menghasilkan satu periode baru membangun-jembatan, ketika masyarakat-masyarakat pemeluk agama yang berbeda membangun hubungan satu sama lain yang tidak pernah ada sebelumnya. Satu gereja dan satu mesjid membeli property bersama dan membangunnya bersebelahan di area San Fransisco. Dewan gereja dan sinagog secara berlahan memasukkan dewan masjid dan mandir membentuk satu dewan antar-agama (inter faith council). Dewasa ini, mereka mulai membangun satu infrastruktur baru antar-agama di kota-kota Amerika. Ada dialog-dialog antar-agama, koalisi-koalisi antar-agama untuk memerangi kelaparan dan tunawisma, dan perayaan thanksgiving antar-agama. Di dewan sekolah, ada perjumpaan yang nyata, sering panas, mengenai isu-isu tentang peranan yang pantas dari agama di sekolah negeri.
Dewasa ini, seperti dalam setiap jaman, orang-orang Amerika sedang mengambil satu makna baru “Kita, rakyat Amerika Serikat …” Apakah artinya mengatakan “kita” di dalam satu Amerika multi-agama? Bagaimana “kita” berhubungan satu dengan yang lain, ketika “kita” itu meliputi Buddhis Amerika, seperti astronout Buddhis kelahiran Hawai yang meninggal di pesawat Challenger, Muslim Amerika, seperti wali sebuah kota kecil di Texas, dan Sikh Amerika, seperti ilmuwan riset di Fairfax, Virginia.
Apakah pluralisme? Pluralitas tradisi-tradisi agama dan budaya telah memberi karakter setiap bagian dunia dewasa ini. Tapi apakah oluralisme? Inilah empat titik untuk memulai pikiran kita:
Pertama, pluralisme bukan hanya sekedar pluralitas atau keberagaman, tetapi keterlibatan energetic dengan keberagaman (energetic engagement with diversity). Kita dapat “merayakan keberagaman”, sebagai klise. Atau kita dapat menjadi kritikal atasnya atau diancam olehnya. Tetapi pluralisme yang nyata meminta partisipasi, keterlibatan. Keberagaman dapat dan sering diartikan isolasi dan penciptaan geto-geto (kampung-kampung di kota yang didiami oleh minoritas) agama dengan lalu lintas kecil di antara mereka. Dinamika dari pluralisme, adalah satu pertemuan, pertukaran, dan lalu lintas dua arah. Analogi Kallen tentang orkestra, bersuara bersama, mungkin satu pengandaian yang bagus. Tetapi sebagaimana Kallen sangat sadar, ia selalu bukanlah satu simphoni yang sudah selesai. Musik itu, mungkin lebih seperti jazz, tergantung dari mempunyai satu telinga yang selalu disesuaikan kepada jenius dari para pemain yang lain. Dengan kata lain, keberagaman agama, tidaklah sesuatu yang terberi; ia adalah satu pencapaian. Hanya sekedar keberagaman tanpa perjumpaan dan hubungan yang nyata akan menghasilkan ketegangan yang semakin meningkat dalam masyarakat-masyarakat kita.
Kedua, pluralisme bukan sekedar toleransi, tetapi pencarian aktif dari pengertian melintasi garis-garis perbedaan. Toleransi adalah satu keutamaan publik yang perlu, tetapi ia tidak meminta orang-orang Kristen dan Muslim, Hindu, Yahudi, dan kaum sekularis yang kukuh untuk mengetahui tentang satu sama lain. Ia tidak melakukan apapun untuk membuang kebodohan kita tentang satu sama lain, dan meninggalkan di tempatnya stereotype, setengah-kebenaran, ketakutan yang mendasari pola-pola lama dari perpecahan dan kekerasan. Toleransi tentu saja penting, tetapi ia mungkin satu dasar yang tipis bagi satu masyarakat dengan perbedaan dan kerumitan agama seperti Amerika. Di dunia di mana kita hidup dewasa ini, kebodohan kita akan yang lain akan semakin meminta biaya tinggi.
Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi satu perjumpaan komitmen (the encounter of commitments). Beberapa orang khawatir dengan bahasa pluralisme, menekankan bahwa ia secara efektif menghilangkan kepercayaan agamanya dengan mengakui bahwa orang lain mempercayai hal yang berbeda. Beberapa orang secara salah berpikir bahwa perspektif seorang pluralis mengandaikan bahwa tidak ada perbedaan sungguh-sungguh di antara berbagai tradisi agama dan nilai-nilai mereka. Sebaliknya, perjumpaan dari satu masyarakat pluralis adalah perjumpaan dari komitmen nyata dan perbedaan-perbedaan nyata. Paradigma baru dari pluralisme tidak meminta kita untuk meninggalkan identitas dan komitmen kita di belakang, karena pluralisme adalah perjumpaan dari komitmen. Ia berarti memegang teguh keberagaman kita yang paling dalam, bahkan perbedaan atau keberagaman agama kita, tidak di dalam isolasi, tetapi di dalam hubungan satu dengan yang lain.
Pluralisme mengandung orang-orang dari setiap keyakinan untuk menjadi tidak lain dari dirinya sendiri, dengan seluruh kekhususan mereka, namun terlibat di dalam menciptakan satu masyarakat sipil, melalui perjumpaan kritikal dan otokritikal satu sama lain. Pluralisme adalah satu proses penciptaan satu masyarakat dengan mengakui, dari pada menyembunyikan, perbedaan-perbedaan terdalam kita.
Keempat, pluralisme di Amerika secara jelas didasarkan atas aturan-aturan dasar bersama dari Amandemen Pertama Konstitusi: “tidak ada agama negara” dan “kebebasan praktik” agama. Perjumpaan penuh semangat dari satu masyarakat pluralistic tidak didasarkan atas pikiran untuk mencapai persetujuan atas masalah-masalah hati nurani dan keyakinan, tetapi mencapai satu konteks diskusi dan hubungan yang penuh semangat. E Pluribus Unum, “dari yang banyak, satu,” (mirip dengan “Bhinneka Tunggal Ika”, red) memimpikan satu rakyat, satu akal sehat dari satu warga negara “kita,” tetapi bukan satu agama, satu keyakinan, satu hati nurani. Unum tidak berarti uni-formitas. Pluralisme didasarkan atas dialog. Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan perjumpaan, memberi dan menerima, kritikisme dan otokritikisme. Dialog berarti baik berbicara dan mendengarkan, dan proses itu mengungkap baik pengertian bersama maupun perbedaan-perbedaan yang nyata. Dialog tidak berarti setiap orang di “meja” akan setuju dengan yang lain. Pluralisme meliputi komitmen untuk ada di meja – dengan komitmennya masing-masing. Barangkali hal yang paling berharga yang dimiliki bersama oleh orang-orang dari banyak keyakinan adalah komitmen mereka pada satu masyarakat yang didasarkan atas memberi dan menerima dari satu dialog warga pada satu meja bersama.
Di manakah ruang publik, “meja-meja” di mana orang-orang dari berbagai tradisi agama dan non agama bertemu di dalam masyarakat Amerika? Meja-meja itu tentunya di dalam lingkungan tetangga dan organisasi-organisasi kemasyarakatan, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dewan-dewan perwakilan dan pengadilan, dewan penentu wilayah dan komisi-komisi perencanaan, dewan-dewan antar agama dan koalisi-koalisi antar agama dan rumah sakit. Di setiap area kehidupan publik ini, orang-orang Amerika sekarang menghadapi pertanyaan-pertanyaan baru, dan ketegangan-ketegangan baru di dalam mengambil satu rasa yang lebih rumit tentang siapa “kita” sekarang ini.
Diana L. Eck adalah professor Perbandingan Agama dan Studi Agama-agama India di Universitas Harvard. Di universitas itu, ia juga menjabat sebagai anggota pada Komisi Studi Agama dalam Fakultas Seni dan Ilmu Pengetahuan. Selain itu, ia juga menjadi professor di Fakultas Bahasa Sansekerta dan Studi India serta Fakultas Theology.
(MediaHindu, edisi 74, April 2010)
Di download pd 29 April 2012 dari sumber : http://canangsari.net/2011/07/dari-keberagaman-ke-pluralisme-2/
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Bedah Pluralisme di Bandung”
Senin, 17 Oktober 2005
Oleh: Adian Husaini
Pada 12 Oktober 2005, saya dengan Dr. Ugi Suharto, direktur eksekutif INSISTS, memberikan presentasi tentang Pluralisme Agama di empat lokasi di Bandung, yaitu di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Masjid Habiburrahman PT Dirgantara Indonesia, Masjid Ukhuwah, dan Masjid Salman Bandung. Ada beberapa masalah yang menarik untuk dicatat dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada acara itu.
Pertama, rata-rata kaum Muslim yang hadir dalam acara tersebut belum memahami dengan baik, apa sebenarnya ide Pluralisme Agama. Itu bisa disimak saat acara acara bedah buku Dr. Anis Malik Toha, yang berjudul Tren Pluralisme Agama, di UPI dan Masjid Salman Bandung. Karena itu, saat dipaparkan data-data dan teori tentang paham Pluralisme Agama, banyak yang mengaku sebagai hal baru bagi mereka.
Padahal, fatwa MUI sudah menjelaskan tentang definisi paham ini dengan lugas dan jelas. Yakni, menurut MUI, Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Paham seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam dan karenanya haram bagi kaum Muslimin untuk menganutnya.
Kedua, banyak hadirin yang terbengong-bengong menyimak profil para penganjur paham Pluralisme Agama. Banyak diantaranya yang lulusan perguruan-perguruan Tinggi Islam, bahkan ada doktor dan prosefor dalam bidang studi Islam.
Di kalangan insinyur, mahasiswa bidang teknologi, dan para profesional yang hadir, sempat muncul pertanyaan, apa yang salah dengan orang-orang yang belajar agama sejak kecil itu?
Mengapa kemudian mereka justru malah merusak keimanan mereka sendiri, dengan menyebarkan paham yang salah, dan malah menyebarkan pemahaman itu kepada masyarakat luas? Apa mereka tidak takut dosa?
Masalah ini sudah pernah kita bahas pada catatan-catatan sebelumnya. Bisa jadi, mereka memang salah berpikir, salah didik, atau “salah asuh”, sehingga merasa benar dalam kekeliruannya.
Mereka kemudian lebih percaya kepada para orientalis dari kalangan non-Muslim dalam memandang ajaran Islam, ketimbang para ulama Islam yang ‘alim dan shalih. Allah sudah mengingatkan adanya fenomena semacam ini, yakni adanya manusia-manusia yang merasa telah bebuat sebaik-baiknya, padahal amal perbuatan mereka sesat. (QS 18:103-104).
Atau, bisa jadi juga, kekeliruan itu disebabkan karena para penyebar paham yang salah ini telah tergoda oleh hawa nafsu, dan dengan sengaja melepaskan pemahamannya terhadap kebenaran. Godaan dunia menjadi sebab utamanya.
Kebetulan, paham Pluralisme Agama merupakan proyek yang sangat mudah menyedot dana dari lembaga-lembaga asing yang bergelimang uang. Para penyebar paham ini seperti tidak peduli dengan kerusakan berpikir dan kerusakan iman yang disebabkan oleh paham Pluralisme Agama. Allah SWT berfirman:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS 7:175-176)
Ketidakpahaman dan kerancuan tentang makna paham ini ditambah lagi dengan terbitnya tulisan-tulisan, buku-buku, dan ucapan di media elektronik dari banyak orang yang sengaja atau tidak justru mengaburkan makna paham ini sebenarnya.
Belum lama ini, misalnya, ada sebuah buku yang terbit yang membahas tentang Pluralisme. Judulnya sangat indah: “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam”. Penerbitnya adalah sebuah organisasi Islam dan Ford Foundation.
Di dalam buku ini kita bisa menyimak berbagai pemikiran pluralisme agama yang jelas-jelas bertentangan dengan keyakinan aqidah Islam. Misalnya paham relativisme iman. Seorang penulis dalam buku ini mengajukan tiga gagasan relativisme yang bisa dijadikan dasar penghormatan dan penghargaan atas yang lain. Pertama, relativisme kultural. Dalam konteks ini, katanya, Islam adalah agama yang hanya cocok dengan kebudayaannya sendiri. Maka, manifestasi Islam mestinya ditampilkan, dikemas dan dilakukan umatnya tanpa harus memaksa yang lain mengikutinya. (hal. 58).
Penulis ini sangat menekankan kentalnya budaya Arab pada ajaran Islam. Dari beberapa contoh ritual Islam, katanya, terlihat betapa kentalnya nuansa dan pengaruh kebudayaan Arab dalam ajaran Islam. “Hal ini mudah dimengerti, sebab wahyu Islam memang turun di Arab dan Pembawa Syariat juga seorang Arab. Dari sini bisa dikatakan bahwa Islam yang selama ini dipahami sebagai yang otentik atau orisinil tak lain adalah ekspresi lokalitas Arab tersendiri. Islam yang terbentuk di Semenanjung Arab adalah hasil dialektika dan pergulatan yang intensif antara Islam dan budaya lokal setempat.” (hal. 56).
Relativisme kedua yang diajukannya ialah relativisme epistemologis. Maksudnya, pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. (hal. 58).
Sedangkan relativisme ketiga ialah relativisme teleologis. Maksudnya, dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain… Artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental. (hal. 58-59)
Paham relativisme seperti ini tentu saja menjadi masalah dalam konsep keimanan Islam yang menuntut taraf keyakinan dalam iman. Azyumardi Azra, dalam buku ini, juga mengungkap tentang konsep “Islams” (banyak Islam). Kata dia, Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Kata Azra: “Memang secara teks Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” (hal. 150).
Azra menunjuk pada contoh perbedaan pemahaman di antara para imam mazhab dalam memahami Al-Quran dan hadits. Ia juga menegaskan bahwa Al-Quran sekalipun bisa disebut punya bias kultural. “Kenapa Al-Quran harus dengan berbahasa Arab, bukan berbahasa Indonesia, bahasa Jawa? Dan ketika Al-Quran itu di-frame, disampaikan kepada manusia, dalam hal ini orang Arab, maka ketika itulah kerangka cultural Arab juga masuk.” (hal. 150-151).
Rektor UIN Jakarta ini menekankan adanya faktor budaya, sosial, lingkungan, dan sebagainya, yang akan mempengaruhi cara berpikir seseorang, termasuk dalam cara memahami Al-Quran. “Karena itulah,” katanya, “ketika kita mencoba memahami Islam, maka memahami Al-Quran akan ada perbedaan pemahaman yang tidak bisa dielakkan.” (hal. 151)
Dengan pemahaman relativisme pemikiran seperti ini, maka seseorang dapat terjebak kepada pemikiran relatif, nisbi, dan tidak yakin kepada kebenaran. Jika begitu, maka tidak ada Islam yang satu. Yang ada adalah “Islams” atau “Islam-Islam”, Islam yang banyak. Semuanya tergantung pada lingkungan kultural dan cara berpikir. Kebenaran adalah relatif, menurut tiap orang. Konsekuensi cara berpikir semacam ini, maka tidak ada tafsir Al-Quran yang qath’iy; semuanya relatif. Semuanya nisbi. Dengan begitu, maka tidak ada Islam yang satu.
Benarkah cara berpikir relativisme semacam itu? Tentu saja tidak benar dan jelas-jelas salah. Cara berpikir relativisme ini muncul dari cara pandang yang salah, yang menyamakan antara Islam – sebagai agama wahyu—dengan agama-agama lain yang tumbuh dari kultur manusia.
Karena Islam adalah agama wahyu, maka tafsir dan pemahaman terhadap Islam dan al-Quran ada yang bersifat tetap (tsawabit) dan ada yang berubah (mutaghayyarat). Tafsir juga ada yang qath’iy dan ada yang zhanniy. Ada yang sama dan ada yang berbeda, tanpa pandang latar belakang kultural penafsir. Semua penafsir al-Quran akan sama dalam memahami dan menafsirkan ayat `Qul huwallaahu ahad`.
Bahwa, Allah adalah satu. Bukan tiga, atau tiga dalam satu. Semua mufassir akan memahami QS 2:183 sebagai dasar kewajiban menjalankan shaum Ramadhan. Bahwa, puasa Ramadhan adalah wajib. Semua mufassir – apa pun latar belakang kebangsaan dan budayanya – akan sama dalam memahami QS 60:10, bahwa seorang Muslimah memang haram menikah dengan laki-laki non-muslim. Para mufassir, baik dari Jawa maupun Rusia, akan sama dalam pemahamannya, bahwa ibadah haji harus dilakukan di Tanah Suci, bukan di Surabaya atau Moskwa.
Jadi, pemahaman bahwa Islam adalah banyak (Islams), adalah pemahaman yang keliru. Islam adalah satu. Syahadatnya satu, Al-Quran-nya satu, Nabi-nya satu, dan rukun iman dan rukun Islamnya satu. Di luar yang satu itu, tidak termasuk Islam. Jika ada orang yang mengaku Islam, tetapi tidak mengakui kewajiban shalat lima waktu atau menyatakan bahwa Al-Quran adalah karangan Nabi Muhammad saw, maka pendapatnya itu jelas-jelas pendapat kufur.
Karena itu, sepanjang sejarah Islam, masalah perbedaan kultural tidaklah dijadikan sebagai hal yang signifikan. Para mufassir dan ulama Islam dari berbagai belahan dunia memahami Al-Quran dengan cara yang sama untuk hal-hal yang pokok dalam Islam. Imam Bukhari bukanlah orang Arab, tetapi cara pemahamannya terhadap Islam sama dengan Imam Syafii yang Arab. Al-Quran sendiri menegaskan, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia, bukan untuk orang Arab saja.
Menyatakan bahwa Islam itu banyak, dengan contoh perbedaan fiqhiyyah di kalangan Imam Mazhab adalah contoh yang mengelirukan. Para Imam mazhab memang berbeda dalam hal furuiyyah, tetapi mereka tidak pernah berbeda tentang hal-hal yang pokok. Aqidah mereka sama.
Tidak ada yang meragukan otentisitas Al-Quran sebagai wahyu Allah. Tidak ada yang menyatakan bahwa haji bolah dikerjakan kapan saja. Tidak ada yang menyatakan, muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim.
Karena itu, seharusnya, para cendekiawan berpikir dan bersikap jujur dalam menyampaikan pemikirannya. Jangan memutar balikkan fakta dan menjerumuskan masyarakat dalam pemikiran yang salah.
Kita sekali lagi mengingatkan, agar para cendekiawan yang mengelirukan umat Islam sadar dan bertobat. Sebab, tanggung jawab mereka sangat besar, di dunia dan akhirat. Mereka bukan hanya salah untuk dirinya sendiri, tetapi juga akan menanggung dosa orang-orang yang mengikuti pendapatnya.
Dengan contoh-contoh pendapat relativisme Islam tersebut, kita dapat menyimak, bagaimana maraknya paham ini disebarkan oleh para pakar dan orang-orang yang seharusnya memahami agama dengan baik.
Siti Musdah Mulia, dalam buku yang sama, juga menyatakan, bahwa interpretasi manusia atas wahyu menjadi kebenaran yang tidak mutlak atau nisbi belaka, sejalan dengan keterbatasannya sebagai manusia. (hal. 233).
Di sini kita lagi-lagi melihat, paham relativisme kebenaran menjadi landasan penyebaran paham Pluralisme Agama. Di dalam Al-Quran surat 16 :125, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyeru manusia ke jalan Allah, dengan hikmah, mauidhatil hasanah, dan bermujadalah dengan cara yang lebih baik. Rasulullah saw juga banyak memerintahkan kepada kita agar melaksanakan amar makruf nahi munkar.
Sebelum menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka tentunya, syarat pertama adalah memahami mana jalan Allah, dan mana jalan setan; mana yang makruf dan mana yang munkar.
Jika Rasulullah saw dan para Wali Songo dulu menganut paham Pluralisme Agama, sudah tentu Islam tidak akan sampai ke Nusantara. Sebab, agama-agama yang sudah ada dianggap benar, dan tidak perlu menyebarkan Islam lagi. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Nabi Muhammad saw memberi contoh, bagaimana gigihnya beliau menyeru umat manusia agar beriman kepada Allah Yang Ahad, dan beriman kepada kenabian dan kerasulannya. Wallahu a’lam. (Balikpapan, 14 Oktober 2005).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini, merupakan kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Di download pd 29 April 2012 dari sumber : http://www.hidayatullah.com/read/2373/16/10/2005/%93bedah-pluralisme-di-bandung%94.html